Tips Menjadi Pengusaha Sukses

Sahabat blogger yang saya cintai, jujur saya tidak bisa menulis banyak. Karena saya yakin sudah banyak diantara kita mengetahui modal utama menjadi orang sukses adalah mimpi. dan banyak sumber berpesan, janganlah hanya bermimpi saja yang tidak pernah dipertajam dengan pekerjaan yang bisa membuat mimpi Anda terwujud. Dan di sini saya ingin berbagi tips menjadi pengusaha sukses yang saya dapatkan dari buku KEWIRAUSAHAAN kelas X SMK diantaranya:


1. Kerja Keras: Semua kegiatan Anda kerjakanlah dengan secara sungguh-sungguh tanpa mengenal lelah atau tidak berhenti sebelum target kerja Anda tercapai dan selalu utamakanlah kepuasan hasil pad setiap kegiatan yang anda lakukan.

2. Disiplin: Anda harus selalu tepat waktu dan tepat janji, sehingga orang lain mempercayai Anda.

3. Realistis: Cara berpikir Anda harus penuh dengan perhitungan dan sesuai dengan kemampuan Anda sehingga gagasan yang anda ajukan bukan ahanya menjadi angan-angan atau mimpi belaka.

4. Mandiri: Anda tidak boleh menggantungkan keputusan akan apa yang Anda lakukan kepada orang lain, sesuatu pekerjaan dilakukan karena kemauan sendiri \ serta tidak merasa besar karena orang lain tetapi karena usaha keras Anda. dan perlu Anda ketahui kalau sikap percaya diri tumbuh dari adanya rasa percaya Anda pada diri sendiri.

5. Prestatif: Saat Anda melakukan sesuatu dengan pikiran bahwa yang akan anda wujudkan memiliki nilai-nilai keunggulan sehingga memperoleh penghargaan dari orang lain, tidak asal jadi bahkan merampas atau meniru hasil karya orang lain.

6. Jujur: Anda harus mau dan mampu mengatakan apa adanya.

Semoga Bermanfaat...

Menyemir Rambut Membatalkan Shalat?


Tanya: Pak Kiai, apakah dengan menyemir rambut dapat membatalkan shalat?
(M. Aditma Noer, Ciledug Tangerang)


Mbah Kiai Sahal Mahfudh menjawab: Menyemir (member warna) rambut bukanlah fenomena baru zaman sekarang yang disebut modern. Di kalngan umat islam, kebiasaan menyemir sudah ada pada masa Rasulullah. Menurut keterangan beberapa hadis, Khalifah Abu Bakar dan Umar ibn Al-Khaththab pernah menyemir rambutnya.

Ulama salaf generasi sahabat dan tabiin berbeda pendapat. Sebagian menyatakan menyemir lebih utama. Sebagian yang lain berpendirian sebaliknya. Pendapatkan pertama berdasarkan pada kenyataan adanya sekelompok sahabat, tabiin dan generasi setelah mereka menyemer rambut sebagaimana diinformasikan beberapa hadis. Sedangkan pendapat kedua merujuk pada sunah Rasulullah yang memang tidak pernah menyemir rambut.

Khilaf juga terjadi pada pemilhan warna semir.ulama’ Syafiiyah, Hanafiyah, Malikiyah dan hanabilah sepakat memperbolekhan warna selain hitam. Khusus semir warna hitam, menurut Syafiiyah hukumnya haram. Selain Syafiiyah menghukumi makruh. Perbedan pendapat ini dirunut dari sebuah hadis yang menceritakan peristiwa pada masa penaklukan kotaMekkah.Waktu itu, Abu Quhafa, orang tua sayidina Abu Bakar dibawa menghadap kepada Rasulullah, dalam keadaan kepalanya disemir dengan warna putih (tsughamah). Melihat hal itu, Rasulullah berkata kepada para sahabat, “Bawalah dia kepada salah satu istrinya, agar mengubah warna rambutnya, dan hindarilah warna hitam.”

Dalam hadis ini, Rasulullah memerintahkan agar menghindari warna hitam. Dalam usul fikih, perintah bisa bersifat wajib (li al-wujub) dan sunah (li an-nadb). Yang menyatakan wajib, mengharamkan warna hitam. Sebaliknya menganggap sunah, memakruhkan. (Ghayah AL-Wushul: Al-Fiqh Al-Islami.IV, 2679-2680, kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzhib Al-Arba’ah:II, 46-47).

Penyemir tidak mempunyai kaitan langsung dengan keabsahan atau batalnya shalat, ia tidak termasuk perkara yang membatalkan shalat, sehingga harus ditingalkan. Bukan pula syarat dan rukunnya, yangharus dilakukan.

Penyemir an hanya berhubungan dengan salah satu persyaratan shalat. Keabsahan shalat mensyaratkan kesucian dari hadas dan najis. Hadas dihilangkan dengan mandi dan wudhu. Salah satu syarat mandi dan wudhu adalah tiadanya benda atau zat pengahalang yang mencegah sampainya air ke rambut dapat menjadi penyebab tidak keabsahan shalat, Karena wudhu atau mandinya tidak sah. Dari sisi lain, Menyemir rambut dapat mencegah keabsahan shalat bila semir yang dipakai berasal dari bahan yang najis.

Dengan demikian, asal semir terbuat dari bahan suci, serta tidk menghalangi air sampai ke rambut, maka shalatnya tetep sah.



Sumber : Buku Dialog dengan Kiai Sahal Mahfudh (Solusi problematika Umat).
Yang diterbitkan oleh Ampel suci , surabaya. bekerja sama denagan LTN NU wilayah Jawa Timur.

Istilah-Istilah dalam Shalat

 
Tanya: Dalam Menjalankan Shalat ada istilah ada’, qadha’, I’adah. Dimanakah perbedaan antara ketiganya apakah I’adah juga wajib seperti halnya qdha’?
(Abrori, Wonokromo Surabaya)


Jawab Mbah Kiai Sahal Mahfudh: Sebagaimana firman Allah bahwa shalat bagi orang mukmin adalah kewajiban yang waktunya sudah ditentukan. Orang mukmin sendiri dalam menjalankan kewajiban itu terkadang karena suatu hal yang sangat mendesak tidak dapat menjalankan sesuai alokasi waktu yang ditentukan syariat. Dari sinilah kemudian muncul istilah ada’, I’adha’ dan I’adah.

Dalam pengertiannya shalat ada’ diartikan dengan menjalankan shalat dengan batas waktu yang telah ditentukan. Termasuk dalam ada’ menurut Madzhab Hanafiyah apabila seseorang mendapatkan kira-kira sekedar takbiratul ihram dia akhir waktu shalat. Sementara Syafi’iyah berpendapat bahwa seseorang itu shalat ada’ apabila mendapatkan satu rakaat sebelum berakhir waktunya.

Sedangkan qadha’ diartikan dengan melaksanakn shlat di luar waktu yang ditentukan sebagai pengganti shalat yang ditinggalkan karena unsur kesengajaan, lupa, memungkinkan atau tidak memungkinkan dalam pelaksanaan shalat tersebut.

Ditinjaudari sisi hokum, sebenarnya antara qadha’ dan ada’ adalah sama, yaitu sama-sama wajib sebagai mana diungkapkan Al-imam Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali dalam kitabnya, Fawatikhu rakhamut bahwa kewajiban itu ada dua yaitu ada’ dan qadha’. Hanya saja pelaksanaan dan nilai yang berbeda. Yang satu dilaksanakan tepat waktu, satu yang lain tidak, sehingga berdosa. Tetapi terlepas dari doasa atau tidak, sehingga berdosa. Tetapi terlepas dari berdosa atau tidak, qadha’ adalah tindakan indisipliner yang akan mengurangi nilai seseorang hamba dengan tuhannya.

Lalu bagaimana dengan I’adah?
Menurut istilah para fuqaha, I’adha diartikan dengan menjalankan shalat yang samauntuk keduakalinya pada waktunya atau tidak. Karena pada shalat yang pertama tedapat cacat atau karena ada shalat kedua yang lebih tinggi tingkat afdhaliyahnya.

Shalat I’adah ada yang wajib, tidak wajib dan sunnah. I’adah yang wajib diantaranya apabila seseorang tidak menemukan atau memiliki sesuatu yang mensucikan untuk bersuci (air, debu). Dalam waktu yang terbatas, ia tetap wajib shalat meski tidak bersuci dan kemudian wajib I’adah pada waktu yang lain setelah mendapatkan sesuatu yang bias dipergunakan untuk bersuci. Hal ini mengingat bersuci adalah syarat shalat. (Fawatikhu rakhamut: 1, 36, Al-Majmu’: 3 132).

Contoh lain apabila seseorang shalat tidak menghadap kiblat meskipun telah berijtihad kecuali berijtihad itu dengan melaksanakan shalat ke empat arah. (al-majmu’: III, 304). Begitu pula dengan seseorang yang melaksanakan shalat tanpa mengetahui waktu, maka wajib I’adah sebagaimana disampaikan qdhi Abu Thoyyib dan Abu Hamid Al-Ghazali.

Adapun yang tidak wajib I’adah seperti seseorang yang shalat tanpa menutup sebagian atau seluruh aurat karena memang tidak punya sama sekali. Sedangkan yang sunah I’adah adalah apabila ada shalat kedua yang lebih afdhal, seperti orang yang sudah shalat sendirian atau berjamaah. Kemudian dalm waktu yang tidak lama ada jamaah yang lebih banyak, maka ia disunahkan I’adah mengikuti jamaah yang kedua.

Dengan kemudian, shalt I’adah tidaklah seperti shalat ada’ atau qadha’. Pertama, I’adah tidak berfungsi menggantikan shlat sebelumnya, karena pada prinsipnya shalat yang pertama adalah shalat yang sah. Kedua, I’adah ada yang wajib, tidak wajib dan ada yang sunah. Hal ini tidak seorti ada’ dan qadha’ yang keduanya sama-sama wajib. Ketiga shalat I’adah yang belum dilaksanakan, karena pelakunya keburu meninggal dunia, misalnya tidak akan dituntut seperti shalat qadha’ yang belum dilaksanakan.

Sumber : Buku Dialog Dengan Kiai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat).