Home » » Peran Emosi Dalam Belajar

Peran Emosi Dalam Belajar

Bapak,ibu guru di seluruh dunia khususnya para guru yang ada di Indonesia yang saya kagumi. ketahuilah tentang pentingnya suatu peran emosi dalam belajar siswa karena dengan Memperhatikan emosi siswa dapat membantu mempercepat pembelajaran mereka dan memahami emosi mereka juga membuat pelajaran lebih berarti dan permanen. Ingatlah sejenak sewaktu anda di perguruan tinggi dahulu. Ingatkah anda, di kelas mana anda sangat berminat pada mata kuliahnya? Informasi mana yang lebih anda ingat-informasi dari dosen yang anda sukai, atau dosen yang anda tidak sukai? Betul ! Dosen yang anda sukai menciptakan dalam diri anda suatu ikatan emosional terhadap belajar , yang mematri mata kuliah tersebut dalam ingatan anda.

Penelitian otak semakin menunjukkan adanya hubungan antara keterlibatan emosi, memori jangka panjang, dan belajar peneliti dan psikolog kognitif, Dr Daniel Goleman menjelaskan:

Dalam tarian perasaan dan pikiran, kekuatan emosi menentukan keputusan kita saat demi saat, bekerja bahu-membahu dengan pikiran rasional,mengaktifkan atau menonaktifkan – pikiran-pikiran itu sendiri. Boleh dibilang, kita mempunyai dua otak, dua pikiran dan dua jenis kecerdasan: rasional dan emosional. Bagaimana kita berkiprah dalam hidup (dan belajar) di tentukan oleh keduanya- bukan hanya IQ, melainkan kecerdasan emosional juga berperan. Tentu saja intelek tidak dapat bekerja pada puncaknya tanpa kecerdasan emosional (Goleman, 1995, h. 28)

Penelitian menyampaikan kepada kita bahwa tanpa keterlibatan emosi, kegiatan saraf otak itu kurang dari yang di butuhkan untuk “merekatkan” pelajaran dalam ingatan (Goleman, 1995 LeDoux, 1993, MacLean,1990).
Pernahkah anda bertanya-tanya mengapa pelajar menjadi tertutup dan tidak dapat mendengarkan anda, mengapa anda menjadi kalap untuk sementara saat anda marah, atau mengapa ejekan balasan baru terpikir sejam seteklah anda di cemohkan? Kita tahu sekarang, berkat kerja Dr. Paul MacLean, DR joseph LeDoux, dan Dr. Daniel Goleman, bahwa ketika tak menerima ancaman atau tekanan, kapasitas otak untuk berpikir rasional mengecil. Otak “diajak secara emosional” (Goleman, 1995) menjadi mode bertempur-atau-kabur dan beroperasi pada tingkat bertahan hidup. Nketesediaan hubungan dan kegiatan sraf benar-benar berkurang atau sangat mengecil dalam situasi ini, dan otak tidak dapat mengakses Higher Order Thinking Skills (HOTS) Keterampilan berpikir order tinggi. Fenomena ini, dikenal sebagai downshifting, merupakan tanggapan psikologis, dan dapat menghentiakn proses belaajr saat itu dan setelah saat itu (MacLean, 1990). Kemampuan belajar murid anda benar-benar berkurang. Untungnya otak dapat melakukan sebaliknya. Denan tekanan positif atau suportif, dikenal sebagai austress, otak dapat terlihat secara emosional, dan memungkinkan kegiatan saraf maksimal. Mihaly Csikszentmihalyi adalah psikolog dari Universitas Chicago yang dikenal karena penelitiannya dalam mendokumentasikan suatu keadaan flow, yang dia difinisikan sebagai “keadaan dimana seseorang sangat terlibat dalamsebuah kegiatan sehingga hal lain seakan tak berarti lagi” (Csikszentmihalyi, 1990, h. 4). Dia menggambarkan hubungan antara eutress dan flow sebagai berikut:

Orang agaknya dapat berkonsentrasi paling baik saat mereka sedikit lebih di tuntut dari pada biasanya dan mereka dapat memberikan lebih dari biasanya. Jika tuntutan terlalu sedikit, orang akan mejadi bosan. Jika tuntutan terlalu besar untuk diatasi, mereka akan menjadi cemas. Flow terjadi di daerah genting antara kebosanan dan kecemasan (Goleman, 1992).

Psikolog dan peniliti dari Harvard, Howard Gardner, dikenakal telah megembangkan teori kecerdasan berganda, berpendapat mengenai Flow Sebeagai berikut:

Kita harus menggunakan keadaan positif anak untuk menarik mereka kedalam pembelajaran di bidang-bidang di mana mereka dapat mengembangkan kompetensi …Flow adalah keadaan internal yang menandakan bahwa seorang anak tugas yang tepat. Anda harus menemukan sesuatu yang anda sukai, lalu tekunilah. Di sekolah, saat ank merasa bosan, mereka akan berontak dan berulah. Jika mereka di banjiri tantangan, mereka akan mencemaskan pekerjaan sekolah. Tetapi, Anda akan belajar dengan segenap kemampuan jika anda menyukai hal yang anda pelajari dan Anda senang jika terlibat dalam hal tersebut (Gardner, 1995, h. 94).

Kuncinya adalah menbangun ikatan emosional tersebut, yaitu dengan meciptakan kesenangan dalam belajar, menjalin hubungan, dan menyikirkan segala ancaman dari suasana belajar. Seperti sebuah mobil, Anda mnghendaki proses belajar melaju dengan semua slinder, jadi anda mulai dengan gigi pertama (menyingkirkan ancaman) dan berusaha mencapai HOTS dari sana.

Studi-studi menujukkan bahwa siswa lebih banyak belajar jika pelajarannnya memuaskan, menantang, dan ramah serta mereka mempunyai suara dalam pembuatan keputusan. Dengan kondisi seperti it, Para siswa lebih sering ikut serta dalam kegiatan suka rela yang berhubungan dengan bahan pelajaran (Walberg, 199). Hal ini meningkatkan hubungan dan kepercayaan dalam pengajaran. Dengan adanya korelasi langsung antara keterlibatan emosi dan prestasi belajar siswa, keterlibatan emosi kini bukan lagi skedar gagasan muluk yang menyenangkan hati orang.

Di samping memastikan agar siswa lebih banyak belajar dan terlibat, ikatan emosioanal juga sangat mempenagruhi memori dan ingatan mereka akan bahan-bahan yang akan di pelajari. Ilmuwan saraf, Dr.Joseph Ledoux, mengemukakan bahwa amigdala, pusat emosi otak, memainkan peran besar dalam menyimpan memori.

….perangsangan amigdala agaknya lebih kuat mematrikan kejadian dengan perangsangan emosional dalam memori….karena itulah kita lebih mudah mengingat, misalnya kencan pertama kita, atau apa yang sedang kita lakukan saat mendengar berita bahwa pesawat ulang-alik Challenger meledak. Semakin kuat rangsangan amigdala, semakin kuat pula pematrian dalam memori (LeDoux,1994).

Sumber : Buku Quantum Teaching yang di tulis oleh Bobbi DePorter, Mark Reardon,M.S, Sarah Singer-Nourie.

0 comments:

Post a Comment